Jakarta, Sunat perempuan atau female genital cutting (FGC) atau female genital mutilation(FGM) masih dipraktikkan secara luas di benua Afrika. Namun kini makin banyak yang menyuarakan sunat perempuan dihentikan.
Praktik ini dianggap ilegal karena sering dilakukan pada gadis berusia 4-8 tahun, usia sebelum mendapatkan siklus menstruasi pertamanya.
Sunat perempuan terdiri atas 4 tipe namun yang paling utama ada 3 yaitu:
1. Clitoridectomy atau penghilangan tudung klitoris (Tipe I)
2. Penghilangan klitoris dan labia minora (Tipe II)
3. Infibulasi atau penghilangan seluruh bagian kelamin, termasuk klitoris, labia minora dan labia majora (Tipe III) hingga hanya tertinggal lubang sebesar pensil di bagian inferior vulva sebagai jalan keluar urin dan darah menstruasi.
Meski tujuan dari prosedur ini adalah mengurangi libido wanita. Pada akhirnya, ketika si wanita yang menjalani infibulasi (penghilangan ekstrem) itu dewasa, ada yang harus melakukan reinfibulasi (RI) atau menjalani pemulihan infibulasi untuk bisa melancarkan persalinan.
Ini karena lubang vagina pasien infibulasi terlalu kecil untuk menjalani proses persalinan lewat vagina sehingga harus dilakukan reinfibulasi untuk memperbesar lubang vaginanya.
Setelah itu, para ibu akan bersikeras untuk menutup vulvanya kembali agar suaminya bersedia berhubungan seksual dengannya.
Seperti dilansir dari healthcanal, Jumat (17/8/2012), salah satu motif yang mendasari dilakukannya sunat perempuan adalah penurunan risiko penyakit akibat berhubungan seksual secara sembarangan karena praktik ini bisa menurunkan dan menghilangkan kepuasan seksual pada wanita.
Meski ada studi yang mengemukakan bahwa sejumlah wanita yang menjalani infibulasi masih bisa menikmati orgasme, nyatanya praktik ini cenderung memberikan dampak negatif terhadap kehidupan seksual wanita.
Peneliti menduga infibulasi mampu memberikan bukti keperawanan agar si wanita dapat menikah. Kondisi semacam ini banyak ditemukan pada komunitas yang memberlakukan praktik sunat perempuan
Dalam komunitas yang sama, sunat perempuan juga menciptakan keuntungan ekonomi karena orangtua diperbolehkan untuk meminta mahar tinggi jika anaknya masih perawan. Pada beberapa masyarakat tertentu, para pria dilarang untuk menikahi wanita yang tidak disunat.
Alasan lain yang mendasari praktik sunat perempuan adalah penghapusan bagian sekresi pada alat kelamin terbukti mampu menjaga kebersihan kelamin itu sendiri. Padahal sunat perempuan jelas-jelas tak mungkin dapat mencegah keluarnya urin, darah menstruasi atau cairan vagina akibat munculnya gairah seksual.
Sunat perempuan juga seringkali diklaim mampu mengobati depresi, histeria dan kegilaan padahal hal ini hanyalah mitos belaka. Anehnya lagi, masyarakat yang mempraktikkannya juga percaya bahwa sunat perempuan meningkatkan kecantikan seorang wanita dan memperpanjang kepuasan seksual pria.
Sunat perempuan diperkirakan telah dilakukan terhadap sekitar 2 juta gadis per tahunnya, yang sebagian besar dilakukan oleh orang-orang yang tak pernah mendapatkan pelatihan medis dan melakukan prosedur sunat perempuan seperti tidak menggunakan anestesi, sterilisasi atau perangkat medis yang benar.
Sebagian besar pasien memang bisa bertahan hidup tapi prosedur itu sendiri dapat menyebabkan kematian akibat syok karena rasa sakit luar biasa yang dialami pasien, pendarahan secara berlebihan hingga infeksi.
Pasien juga seringkali mengalami gangguan sekresi urin atau darah menstruasi sehingga mengakibatkan infeksi kandung kemih atau infeksi saluran reproduksi serta kemandulan.
Badan kesehatan dunia (WHO) menambahkan bahwa segala jenis sunat perempuan meningkatkan risiko kematian bayi (15 persen untuk Tipe I, 32 persen untuk Tipe II dan 55 persen untuk Tipe III).
Wanita yang menjalani infibulasi juga berisiko melahirkan secara caesar sebesar 30 persen serta mengalami pendarahan pasca melahirkan hingga 70 persen, lebih tinggi dibandingkan wanita yang tidak menjalani sunat perempuan.
Sebanyak 10-20 per ribuan bayi yang lahir di Afrika pun meninggal dunia selama proses persalinan karena ibunya menjalani prosedur pemotongan kelamin.
Selain itu, nota kesepakatan antara WHO-Unicef-UNFPA pada tahun 1997 menyatakan, "mutilasi kelamin wanita merupakan pelanggaran integritas fisik dan psikoseksual para wanita dan gadis sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap wanita sehingga tak bisa diterima secara universal."
Sunat perempuan biasanya dilakukan sebagai bentuk cerminan nilai-nilai yang dipegang teguh orangtuanya dalam komunitasnya agar putrinya bisa diterima secara sosial.
WHO beranggapan agar praktik ini bisa ditabukan secara luas, upaya penyadaran dan kampanye tentang dampak negatif sunat perempuan harus dimulai dari komunitas yang melegalkannya.
Sunat perempuan menurut para penggiat feminis harus diperkenalkan sebagai praktik yang merugikan kesehatan bahkan menimbulkan cedera berkepanjangan pada wanita.
Sementara di Indonesia, sunat perempuan diatur dalam Permenkes No 1636/Menkes/Per/XI/2010 tentang Sunat Perempuan yang intinya mengatur prosedur dan teknik penyayatan dan hanya bagian mana yang boleh disayat.
Beberapa poin yang diatur dalam Permenkes No 1636/2010 tentang Sunat Perempuan antara lain sebagai berikut:
1. Sunat perempuan hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan baik dokter, bidan atau perawat yang memiliki izin kerja. Sebisa mungkin, tenaga kesehatan yang dimaksud berjenis kelamin perempuan.
2. Bagian yang dipotong tidak boleh sembarangan, bahkan sebenarnya tidak ada bagian dari alat kelamin perempuan yang boleh dipotong. Sunat yang diizinkan hanya berupa goresan kecil pada kulit bagian depan yang menutupi klitoris (frenulum klitoris).
3. Sunat perempuan tidak boleh dilakukan dengan cara mengkaterisasi atau membakar klitoris (bagian mirip kacang yang paling sensitif terhadap rangsang seksual, dalam Bahasa Indonesia disebut juga klentit). Goresan juga tidak boleh melukai atau merusak klitoris, apalagi memotong seluruhnya.
4. Bagian lain yang tidak boleh dirusak atau dilukai dalam sunat perempuan adalah bibir dalam (labia minora) maupun bibir luar (labia mayora) pada alat kelamin perempuan. Hymen atau selaput dara juga termasuk bagian yang tidak boleh dirusak dalam prosedur sunat perempuan.
5. Sunat perempuan hanya boleh dilakukan atas permintaan dan persetujuan perempuan yang bersangkutan dengan izin dari orangtua atau walinya. Petugas yang menyunat juga wajib menginformasikan kemungkinan terjadinya perdarahan, infeksi dan rasa nyeri.
Praktik ini dianggap ilegal karena sering dilakukan pada gadis berusia 4-8 tahun, usia sebelum mendapatkan siklus menstruasi pertamanya.
Sunat perempuan terdiri atas 4 tipe namun yang paling utama ada 3 yaitu:
1. Clitoridectomy atau penghilangan tudung klitoris (Tipe I)
2. Penghilangan klitoris dan labia minora (Tipe II)
3. Infibulasi atau penghilangan seluruh bagian kelamin, termasuk klitoris, labia minora dan labia majora (Tipe III) hingga hanya tertinggal lubang sebesar pensil di bagian inferior vulva sebagai jalan keluar urin dan darah menstruasi.
Meski tujuan dari prosedur ini adalah mengurangi libido wanita. Pada akhirnya, ketika si wanita yang menjalani infibulasi (penghilangan ekstrem) itu dewasa, ada yang harus melakukan reinfibulasi (RI) atau menjalani pemulihan infibulasi untuk bisa melancarkan persalinan.
Ini karena lubang vagina pasien infibulasi terlalu kecil untuk menjalani proses persalinan lewat vagina sehingga harus dilakukan reinfibulasi untuk memperbesar lubang vaginanya.
Setelah itu, para ibu akan bersikeras untuk menutup vulvanya kembali agar suaminya bersedia berhubungan seksual dengannya.
Seperti dilansir dari healthcanal, Jumat (17/8/2012), salah satu motif yang mendasari dilakukannya sunat perempuan adalah penurunan risiko penyakit akibat berhubungan seksual secara sembarangan karena praktik ini bisa menurunkan dan menghilangkan kepuasan seksual pada wanita.
Meski ada studi yang mengemukakan bahwa sejumlah wanita yang menjalani infibulasi masih bisa menikmati orgasme, nyatanya praktik ini cenderung memberikan dampak negatif terhadap kehidupan seksual wanita.
Peneliti menduga infibulasi mampu memberikan bukti keperawanan agar si wanita dapat menikah. Kondisi semacam ini banyak ditemukan pada komunitas yang memberlakukan praktik sunat perempuan
Dalam komunitas yang sama, sunat perempuan juga menciptakan keuntungan ekonomi karena orangtua diperbolehkan untuk meminta mahar tinggi jika anaknya masih perawan. Pada beberapa masyarakat tertentu, para pria dilarang untuk menikahi wanita yang tidak disunat.
Alasan lain yang mendasari praktik sunat perempuan adalah penghapusan bagian sekresi pada alat kelamin terbukti mampu menjaga kebersihan kelamin itu sendiri. Padahal sunat perempuan jelas-jelas tak mungkin dapat mencegah keluarnya urin, darah menstruasi atau cairan vagina akibat munculnya gairah seksual.
Sunat perempuan juga seringkali diklaim mampu mengobati depresi, histeria dan kegilaan padahal hal ini hanyalah mitos belaka. Anehnya lagi, masyarakat yang mempraktikkannya juga percaya bahwa sunat perempuan meningkatkan kecantikan seorang wanita dan memperpanjang kepuasan seksual pria.
Sunat perempuan diperkirakan telah dilakukan terhadap sekitar 2 juta gadis per tahunnya, yang sebagian besar dilakukan oleh orang-orang yang tak pernah mendapatkan pelatihan medis dan melakukan prosedur sunat perempuan seperti tidak menggunakan anestesi, sterilisasi atau perangkat medis yang benar.
Sebagian besar pasien memang bisa bertahan hidup tapi prosedur itu sendiri dapat menyebabkan kematian akibat syok karena rasa sakit luar biasa yang dialami pasien, pendarahan secara berlebihan hingga infeksi.
Pasien juga seringkali mengalami gangguan sekresi urin atau darah menstruasi sehingga mengakibatkan infeksi kandung kemih atau infeksi saluran reproduksi serta kemandulan.
Badan kesehatan dunia (WHO) menambahkan bahwa segala jenis sunat perempuan meningkatkan risiko kematian bayi (15 persen untuk Tipe I, 32 persen untuk Tipe II dan 55 persen untuk Tipe III).
Wanita yang menjalani infibulasi juga berisiko melahirkan secara caesar sebesar 30 persen serta mengalami pendarahan pasca melahirkan hingga 70 persen, lebih tinggi dibandingkan wanita yang tidak menjalani sunat perempuan.
Sebanyak 10-20 per ribuan bayi yang lahir di Afrika pun meninggal dunia selama proses persalinan karena ibunya menjalani prosedur pemotongan kelamin.
Selain itu, nota kesepakatan antara WHO-Unicef-UNFPA pada tahun 1997 menyatakan, "mutilasi kelamin wanita merupakan pelanggaran integritas fisik dan psikoseksual para wanita dan gadis sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap wanita sehingga tak bisa diterima secara universal."
Sunat perempuan biasanya dilakukan sebagai bentuk cerminan nilai-nilai yang dipegang teguh orangtuanya dalam komunitasnya agar putrinya bisa diterima secara sosial.
WHO beranggapan agar praktik ini bisa ditabukan secara luas, upaya penyadaran dan kampanye tentang dampak negatif sunat perempuan harus dimulai dari komunitas yang melegalkannya.
Sunat perempuan menurut para penggiat feminis harus diperkenalkan sebagai praktik yang merugikan kesehatan bahkan menimbulkan cedera berkepanjangan pada wanita.
Sementara di Indonesia, sunat perempuan diatur dalam Permenkes No 1636/Menkes/Per/XI/2010 tentang Sunat Perempuan yang intinya mengatur prosedur dan teknik penyayatan dan hanya bagian mana yang boleh disayat.
Beberapa poin yang diatur dalam Permenkes No 1636/2010 tentang Sunat Perempuan antara lain sebagai berikut:
1. Sunat perempuan hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan baik dokter, bidan atau perawat yang memiliki izin kerja. Sebisa mungkin, tenaga kesehatan yang dimaksud berjenis kelamin perempuan.
2. Bagian yang dipotong tidak boleh sembarangan, bahkan sebenarnya tidak ada bagian dari alat kelamin perempuan yang boleh dipotong. Sunat yang diizinkan hanya berupa goresan kecil pada kulit bagian depan yang menutupi klitoris (frenulum klitoris).
3. Sunat perempuan tidak boleh dilakukan dengan cara mengkaterisasi atau membakar klitoris (bagian mirip kacang yang paling sensitif terhadap rangsang seksual, dalam Bahasa Indonesia disebut juga klentit). Goresan juga tidak boleh melukai atau merusak klitoris, apalagi memotong seluruhnya.
4. Bagian lain yang tidak boleh dirusak atau dilukai dalam sunat perempuan adalah bibir dalam (labia minora) maupun bibir luar (labia mayora) pada alat kelamin perempuan. Hymen atau selaput dara juga termasuk bagian yang tidak boleh dirusak dalam prosedur sunat perempuan.
5. Sunat perempuan hanya boleh dilakukan atas permintaan dan persetujuan perempuan yang bersangkutan dengan izin dari orangtua atau walinya. Petugas yang menyunat juga wajib menginformasikan kemungkinan terjadinya perdarahan, infeksi dan rasa nyeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar